Kamis, 16 Agustus 2012

syair


KOMA

(Karya :Erviana11_9b21@yahoo.com)

Seakan terlepas dari bayangan embun yang terjatuh lewat lamunanku yang buta, mencari dan menengadahkan pandangan lugu mengitari sosok manusia yang tengah berjejal dalam pikiran yang rumit. Sesekali ku tatap ia lewat kaca jendela yang kecil,ku pikirkan apa saja yang ku simak dari pertikaian batin malam ini, namun rasanya begitu sulit untuk dapat mengerti pendapat dan kata hati yang berjuang menunjukkan arah. Andaikan menjadi sesuatu yang mungkin bisa kubaca mungkin akan menjadi lebih berharga untuk sekedar menangkap rasa takut.


Sepertinya jiwaku tengah sakit, hingga ia tertidur dan tak ingin terbangun kembali.
Bukanlah suatu kesengajaan jika mata ini tak kuasa menatap jerami-jerami yang tengah mengeluh dingin merasakan cucuran air hujan yang menembus tubuhnya kini semakin membuatnya terkikis. 

Bukan pula suatu alasan untuk tidak mendengar ayam berkokok sedang membusungkan dada dan menggagahkan diri lewat kenyaringan suaranya menembus dinding kandang kawannya di seberang jalan hingga tibalah ia mendengar sautan. Bukan, sungguh bukan itu yang sebenarnya tejadi, namun jika kau mau membuka nurani, semua ini adalah ketika hati menjadi asing, ketika hati tidak tahu harus menjadi siapa dan seperti apa untuk hidup dan ketika hati tengah tersesat dalam suatu renungan panjang yang tak bertuan. Begitu ganjil dan begitu suram. Begitu gelap dan begitu dingin.


Mungkin tidak akan benar jika waktu akan menjadi mimpi bersama harapan yang terlanjur beku di dasar kekosongan hati. Seakan langit akan segera runtuh dan menimbun beberapa wajah yang sedang terlelap.  Namun sang surya tidak juga terbangun untuk mengusir penjaga malam yang buas, yang sedang berkeliaran menyandera mimpi-mimpi kami yang tengah berbunga. Seolah memang sengaja mereka menghentikan kedipan kami yang telah lelah. 

Hingga sekarang aku harus merajut kekuatan diri untuk sekedar tinggal dalam dunia yang kecil bersama diriku sendiri. Aku mengetahui rasanya sakit itu adalah lebih dari sekedar airmata yang jatuh. Aku merasakan ini adalah ketika hujan itu tak lagi ada untuk menjadi penghilang rasa panas. Mungkin akan menjadi sesuatu yang tak bisa ku mengerti hingga kicauan burung telah menyambut embun pagi yang mengambang di atas dedaudan esok pagi.


Apakah benar ada nafas lain yang terhembus saat aku mengucapkan kata cinta untuk sang Khalik. Apakah benar ada jiwa-jiwa yang tengah mengerumuniku ketika aku sedang tak lagi berdaya menunggu keajaiban. Dan apakah benar ada debu-debu suci yang terhimpit lewat gesekan tangan dan wajahku ketika aku mengaminkan do’a dikala orang-orang sedang mendengkur.


Mungkin salah satu ruang di sana, para malaikatku tengah menatap wajahku dengan harapan yang besar. Seiring dengan gerak bibirnya yang tergigit pedih menahan air mata bersama rintihan do’a. Mungkin itu adalah isyarat untuk tidak menangisi tubuhku yang mulai kurus ini sedang terkulai di atas bulu-bulu angsa yang terselimuti kain putih, isyarat untuk tidak mendengar mulutku mengeluh ketika rasa sakit ini kembali mencumbu kedamaian yang ku sembunyikan dalam jantungku.

Aku memang mengerti rasanya, namun aku tak mengerti cara menghentikan mereka, karena darah yang mereka alirkan dalam nadiku menyimpan kasih sayang yang begitu murni tanpa bisa ku hentikan dengan sendirinya. Tapi itulah kemungkinan alasan dari mengapa tangan Izrail belum juga terulur untuk memapahku hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar