KOMA
(Karya
:Erviana11_9b21@yahoo.com)
Seakan terlepas dari bayangan embun yang
terjatuh lewat lamunanku yang buta, mencari dan menengadahkan pandangan lugu
mengitari sosok manusia yang tengah berjejal dalam pikiran yang rumit. Sesekali
ku tatap ia lewat kaca jendela yang kecil,ku pikirkan apa saja yang ku simak
dari pertikaian batin malam ini, namun rasanya begitu sulit untuk dapat
mengerti pendapat dan kata hati yang berjuang menunjukkan arah. Andaikan
menjadi sesuatu yang mungkin bisa kubaca mungkin akan menjadi lebih berharga
untuk sekedar menangkap rasa takut.
Sepertinya jiwaku tengah sakit, hingga ia
tertidur dan tak ingin terbangun kembali.
Bukanlah suatu kesengajaan jika mata ini tak
kuasa menatap jerami-jerami yang tengah mengeluh dingin merasakan cucuran air
hujan yang menembus tubuhnya kini semakin membuatnya terkikis.
Bukan pula suatu
alasan untuk tidak mendengar ayam berkokok sedang membusungkan dada dan
menggagahkan diri lewat kenyaringan suaranya menembus dinding kandang kawannya
di seberang jalan hingga tibalah ia mendengar sautan. Bukan, sungguh bukan itu
yang sebenarnya tejadi, namun jika kau mau membuka nurani, semua ini adalah
ketika hati menjadi asing, ketika hati tidak tahu harus menjadi siapa dan
seperti apa untuk hidup dan ketika hati tengah tersesat dalam suatu renungan
panjang yang tak bertuan. Begitu ganjil dan begitu suram. Begitu gelap dan
begitu dingin.
Mungkin tidak akan benar jika waktu akan
menjadi mimpi bersama harapan yang terlanjur beku di dasar kekosongan hati.
Seakan langit akan segera runtuh dan menimbun beberapa wajah yang sedang
terlelap. Namun sang surya tidak juga
terbangun untuk mengusir penjaga malam yang buas, yang sedang berkeliaran
menyandera mimpi-mimpi kami yang tengah berbunga. Seolah memang sengaja mereka
menghentikan kedipan kami yang telah lelah.
Hingga sekarang aku harus merajut kekuatan
diri untuk sekedar tinggal dalam dunia yang kecil bersama diriku sendiri. Aku
mengetahui rasanya sakit itu adalah lebih dari sekedar airmata yang jatuh. Aku
merasakan ini adalah ketika hujan itu tak lagi ada untuk menjadi penghilang
rasa panas. Mungkin akan menjadi sesuatu yang tak bisa ku mengerti hingga
kicauan burung telah menyambut embun pagi yang mengambang di atas dedaudan esok
pagi.
Apakah benar ada nafas lain yang terhembus
saat aku mengucapkan kata cinta untuk sang Khalik. Apakah benar ada jiwa-jiwa
yang tengah mengerumuniku ketika aku sedang tak lagi berdaya menunggu
keajaiban. Dan apakah benar ada debu-debu suci yang terhimpit lewat gesekan
tangan dan wajahku ketika aku mengaminkan do’a dikala orang-orang sedang
mendengkur.
Mungkin salah satu ruang di sana, para
malaikatku tengah menatap wajahku dengan harapan yang besar. Seiring dengan
gerak bibirnya yang tergigit pedih menahan air mata bersama rintihan do’a.
Mungkin itu adalah isyarat untuk tidak menangisi tubuhku yang mulai kurus ini
sedang terkulai di atas bulu-bulu angsa yang terselimuti kain putih, isyarat untuk
tidak mendengar mulutku mengeluh ketika rasa sakit ini kembali mencumbu
kedamaian yang ku sembunyikan dalam jantungku.
Aku memang mengerti rasanya,
namun aku tak mengerti cara menghentikan mereka, karena darah yang mereka
alirkan dalam nadiku menyimpan kasih sayang yang begitu murni tanpa bisa ku
hentikan dengan sendirinya. Tapi itulah kemungkinan alasan dari mengapa tangan
Izrail belum juga terulur untuk memapahku hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar